TEMPO.CO , Jambi: Program ekonomi hijau dinilai dapat menjadi salah satu skema paling tepat dalam upaya mempercepat reformasi agraria di Indonesia.

"Reformasi agraria adalah satu bentuk dari pra-kondisi utama bagi keberhasilan ekonomi hijau," kata Noer Fauzi Rachman, Advisor on Agrarian Reform Kemitraan pada diskusi Ekonomi Hijau Mempercepat Reformasi Agraria, di Jambi, Kamis, 26 Juli 2012.

Menurut Fauzi, ekonomi hijau menjadi satu-satunya pilihan tepat dan terbaik bagi Indonesia, karena pembangunan yang pro-poor dan pro-growth tetap bisa berlangsung dengan kelestarian lingkungan terjaga.

"Jadi, ekonomi hijau hanya bisa dirintis manakala rezim kebijakan konsesi kehutanan, perkebunan, dan pertambangan untuk perusahaan perusahaan raksasa direformasi secara mendasar. Termasuk membatasi penguasaan dan pengusahaan tanah oleh perusahaan raksasa," ujarnya.

Untuk mewujudkan ekonomi hijau bagi kemajuan masyarakat, pemerintah juga wajib melindungi penguasaan tanah kesatuan masyarakat hukum adat dan petani kecil.

Direktur Eksekutif Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rakhmat Hidayat, mengatakan, kunci implementasi ekonomi hijau di Provinsi Jambi adalah implementasi pengelolaan sumber daya alam hutan berbasis masyarakat.

Mengingat program tersebut bermanfaat secara ekonomi, ekologi, sosial budaya juga bisa mengangkat kembali kearifan dan teknologi lokal dalam pengelolaan hutan berkelanjutan dan berkeadilan, minim emisi dan meningkatkan stok karbon.

"Ini menjadi bukti bahwa rakyat mampu mengelola lebih baik dibanding dengan sektor swasta," ujarnya.

Kurun waktu 10 tahun terakhir, kata Rakhmat, luas kawasan hutan di Jambi yang mencapai dua juta hektare lebih, berkurang satu juta hektare akibat alih fungsi hutan secara besar besaran.

Ironisnya, alih fungsi hutan itu lebih diakibatkan konsesi perusahaan skala besar seperti pertambangan, HTI dan perkebunan sawit maupun karet.

Maraknya pemberian izin kepada perusahaan besar pengelola hutan, menjadikan konflik agraria justru semakin meluas. Kondisi tersebut menyebabkan petani dan masyarakat di kawasan hutan cenderung termarginalkan.

"Padahal, ada sekitar 300 ribu desa yang berada di kawasan hutan di mana sebagian besar masyarakat pada kondisi miskin. Kondisi ini diperlukan pola dan kebijakan tepat agar pemanfaatan lahan dan hutan benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan," katanya.

Kepala Biro Bidang Pemerintahan Provinsi Jambi, Heriandi Roni, mengatakan di Provinsi Jambi sedikitnya 34 konflik agraria yang melibatkan perusahaan dengan perusahaan. Di antaranya, 29 kasus konflik perkebunan dan lima kasus kehutanan.

"Kami dari pemerintah daerah sifatnya hanya bisa memediasi. Keterbatasan pemerintah daerah karena tidak memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Karena kebijakan itu ada pada tingkat pemerintah pusat," katanya.

SYAIPUL BAKHORI



Sumber : https://nasional.tempo.co/read/419564/1-juta-hektare-hutan-di-jambi-lenyap-10-tahun




Meika

Meika

Meika hadir untuk melengkapi pasarkayu.

Post A Comment:

0 comments:

Kolom ini, diperuntukan saling koresponden dan berbagai informasi. Mohon memberikan :

IDENTITAS YANG BISA DIHUBUNGI [ NO HP / EMAIL ]
( Jika tidak ada identitas, komentar akan dihapus )